Revolusi perilaku sebagai langkah penuntasan reformasi hukum

Thy friend has a friend, and thy friend’s friend has a friend; be discreet.

Reformasi hukum senantiasa berdengung sejak rezim reformasi hingga saat ini, terdapat beberapa hal yang mulai berubah dan lahir sebagai upaya untuk mewujudkan reformasi hukum demi membenahi kondisi hukum yang ada, diantaranya berbagai lembaga baru muncul, diskriminasi gender mulai diminimalisasi. Akan tetapi bebagai perubahan yang terjadi dalam tataran reformasi hukum tak pernah pergi jauh dari permasalahan keadilan yang membaur menjadi satu disegala bidang. Sejatinya hukum diciptakan dengan tiga tujuan, yaitu untuk kepastian hukum, kemanfaatan social, dan keadilan, menurut sujono sukanto ketiganya harus disenantiasa diselaraskan. Terkait dengan itu bergandengan pula hak keadilan yang dimiliki setiap individu sebagai pribadi kodrati. Hak keadilan sepantasnya melekat dan dapat dinikmati oleh setiao orang tanpa pengecualian. Idealnya ketika diadakan reformasi hukum maka akan memperkuat hak keadilan pada kedudukannya yang harus dihargai oleh setiap pihak manapun, baik pemerintah, aparatur Negara, bahkan warga negara sekalipun. Sejak Indonesia merdeka, cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum pernah dijadikan prioritas utama pembangunan dan stabilitas. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tujuan akhir empat sila lain Pancasila masih slogan daripada realitas. Cita-cita kemerdekaan dalam Pembukaan UUD’45 seakan menjadi tulisan yang tertuang diatas kertas semata, Apakah kondisi semacam itu yang kita andalkan untuk membangun bangsakini? Kondisi ini diperparah kebudayaan (way of life) yang belum bersemangat mendukung keadilan sosial. Padahal, kebudayaan dapat dikatakan sebagai pondasi kokoh untuk menopang nilai keadilan dan moralitas. Kebudayaan membentuk sikap, sehingga berdaya dorong yang sama kuatnya dengan politik, ekonomi dan hukum. Hukum dan keadilan tak mungkinkberdiriksendiriktanpakdukungankkebudayaan. Bangsa ini dirasa perlu untuk membangun budaya keadilan, atau menjadikan keadilan sebagai budaya bangsa sehingga jika budaya keadilan sudah terbangun maka dengan sendirinya reformasi hukum akan menjadi sesuai dengan harapan dan memberi ruang bagi tujuan hukum untuk hidup di posisi yang semestinya, hal itu dengan sendirinya mereduksi pada hak keadilan yang akan senantiasa terjamin dan dihormati keberlakuannya baik bagi penguasa maupun rakyat biasa. Sejak Negara Indonesia ini berdiri, para penyelenggara negara hanya berkutat pada tataran normatif nilai keadilan baik dari segi formal, segi legal, maupun sekadar prosedur, padahal ada hal lain yang tak kalah harus dipertimbangkan, yaitu substansi keadilan. Substansi keadilan belum melembaga dalam setiap kebijakan public. Substansi keadilan itu adalah, memberi apa yang menjadi hak orang lain, termasuk hak kaumjmiskin. Sekalipun banyak reformasi hukum dan perundang-undangan, manfaatnya belum juga dirasakan masyarakat luas. Kekecewaan terhadap kondisi keadilan dapat kita rasakan, bahkan orang awam sekalipun. Ketidakadilan akhirnya keadaan dimana banyak orang tersisih atau termarjinalkan. Realitanya, penegakan hukum saat ini belum memberikan rasa keadilan pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dalam tataran pemerintahan dan memegang tampuk kekuasaan dengan rakyat. Bandul hukum kembali bergeser kepada arah yang tidak semestinya, hukum yang seharusnya berperan sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum seakan menjadi hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, sering kali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Apabila ingin menjadikan pengadilan sebagai bagian dari memberi keadilan kepada masyarakat, berarti rakyat harus benar-benar merasa bahwa hukum itu memang memberi keadilan yang menjadi output utama, yang akan ditukarkan dengan input motivasi masyarakat yang mengakui pengadilan sebagai struktur penyelesaian persoalan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hukum yang baik memerlukan awak pelaksana yang baik, maka reformasi hukum harus dibarengi dengan pendidikan hukum dan pendidikan profesi hukum. Oleh karena itu, tanpa revolusi perilaku, bangsa ini tak mungkin dapat mewujudkan keadilan dan menuntaskan perubahan dalam rangka reformasi hukum, Revolusi perilaku bukanlah suatu perebutan kekuasaan, tetapi merubah diri. Perilaku bagaimanapun lebih penting daripada peraturan-peraturan, hukum dan perundang-undangan.

Problematika Disparitas Pidana dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Sepintas terlihat bahwa disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan hakim kepada para pencari keadilan. Masyarakat tentunya akan membandingkan putusan hakim secara general dan menemukan bahwa disparitas telah terjadi dalam penegakkan hukum di Indonesia.

Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda/ disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda/disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana. Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih memenuhi rasa keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan. Keadaan ini tentu menimbulkan inkonsistensi putusan peradilan dan juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh Negara kita, dimana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum, apa jadinya jika masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia. Tidak sampai disitu saja, konsep equality before the law yang menjadi salah satu ciri Negara hukum pun masih perlu dipertanyakan terkait dengan realita yang ada, dimana disparitas pidana tampak begitu nyata dalam penegakan hukum. Fakta tersebut merupakan bentuk dari perlakuan peradilan yang tidak sama terhadap sesama pelaku tindak pidana sejenis yang kemudian diberikan hukuman yang berbeda. Misalnya dalam kasus perkosaan yang sifat dan karakteristikanya sama, tetapi hakim menjatuhkan pidana yang jauh berbeda. Bercermin dari hal itu maka masih dapatkah Negara ini dikatakan sebagai Negara hukum?

Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, yakni:

“Terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian merasa menjadi korban terhadap judicial caprice akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Dari ini akan Nampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi dari kegagalan suatu sistem unutk mencapai persamaan keadilan di dalam Negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana. Sesuatu yang tidak diharapkan terjadi bilamana disparitas tersebut tidak diatasi, yaitu timbulnya demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang lebih berat daripada yang lain dalam kasus yang sebanding.”[1]

Disparitas pemidanaan merupakan permasalahan pada pemidanaan. Hal ini dapat dilihat dari diangkatnya permasalahan tersebut dalam musyawarah Nasional VII Ikatan Hakim Indonesia di Pandaan Jawa Timur 1975, Musyawarah Nasional VIII Ikatan Hakim Indonesia di Jakarta Tahun 1992.

Adanya disparitas pidana dalam penegakan hukum ini juga mendapat tanggapan dari Harkristuti Harkrisnowo yang dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa:

Dengan adanya realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik mempertanyakan apakah hakim/pengadilan telah benar-benar melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya, secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim.[2]

Dari tulisan Harkristuti Harkrisnowo tersebut dapat pula dipahami bahwa pendapatnya tersebut adalah salah satu pembenaran bahwa disparitas pidana telah membawa hukum kita kepada keadaan yang tidak lagi sesuai dengan tujuan penegakan hukum. Hukum yang semula dimaksudkan untuk menjadi penjaga keadilan, kemanfaatan sosial, dan kepastian hukum tidak lagi dapat dipenuhi secara utuh, karena dalam hal ini unsur keadilanlah yang oleh masyarakat dirasa tidak lagi dipenuhi atau diberikan oleh Hakim dalam menegakkan hukum.

Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia, yang termasuk keluarga hukum eropa continental, yang tidak mengenal sistem presedent. Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing disparity of sentencing mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya.[3]

Sebelum mengulas lebih dalam mengenai problematika disparitas pidana, terlebih dahulu baiknya dipahami mengenai pengertian disparitas pidana, yakni:

Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.[4] Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:

  1. Disparitas antara tindak tindak pidana yang sama
  2. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama
  3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim
  4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama[5]

Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat kita temukan wadah dimana disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja kenyataan mengenai ruang lingkup tumbuhnya disparitas ini menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.

Disparitas pidana erat kaitannya dengan hakikat dari pidana itu sendiri. Pendapat mengenai definisi pidana dari para sarjana yang pernah dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi dalam bukunya teori-teori dan kebijakan pidana sebagai berikut:[6]

– Prof. Sudarto

yang dimaksud dengna pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

– Prof. Ruslan Saleh

Pidana adalah reaksi delik, dan ini berujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu

– Fitzgerald

Pidana adalah penderitaan yang dijatuhkan oleh pemerintah terhadap suatu pelanggaran atau kesalahan

– H.L.A. Hart menyatakan bahwa pidana harus:[7]

  1. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan.
  2. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar-benar melakukan tindak pidana
  3. Dikenakan berhubungan suatu tindakan yang melanggar ketentuan hukum
  4. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana
  5. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana.

– Alf Ross menyatakan bahwa pidana adalah reaksi sosial yang: [8]

  1. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum
  2. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar
  3. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan
  4. Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.

Dari beberapa pengertian dan ruang lingkup pidana tersebut, oleh Muladi disimpulkan bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur sebagai berikut:[9]

  1. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat lain yang tidak menyenangkan.
  2. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
  3. Pidana dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Dari kesimpulan tersebut dapatlah kita menerima bahwa pada hakikatnya pidana yang berupa derita memang sepatutnya dijatuhkan pada sesorang yang melakukan tindak pidana yang diatur menurut Undang-Undang. Penjatuhan pidana itu merupakan konsekuensi wajar bagi pelaku tindak pidana, hanya saja masalah timbul jika terhadap para pelaku tindak pidana sejenis dijatuhkan hukuman yang berbeda sehingga menimbulkan anggapan bahwa pengadilan telah berlaku tidak adil. Akan tetapi jika ditinjau secara ideologis sebenarnya disparitas pidana tersebut dapat dibenarkan sebagai pencerminan salah satu karakteristik aliran modern (positivisme school) yang berkembang pada abad ke-19, yakni pidana harus disesuaikan dengan penjahat.[10]

Seperti kata pepatah tidak akan ada asap jika tidak ada api, maka begitu pula yang terjadi dalam hal adanya disparitas pidana yang tumbuh di Indonesia, tentu ada pemicu sehingga terbentuklah disparitas pidana dalam penegakan hukum selama ini.

Menurut muladi, disparitas pidana itu dimulai dari hukum sendiri. Didalam hukum positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana
(straafsoort) yang dikehendaki sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif didalam pengancaman pidana dalam Undang-Undang.

Contoh system alternatif dapat dilihat dari ketentuan pasal 188 KUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut:

“Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidnna denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum- bagi barang, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati.”

Dari bunyi pasal tersebut dapat kita lihat adanya bebarapa pidana pokok yang diancamkan terhadap pelaku perbuatan pidana yang sama secara alternatif. Diantara beberapa yang ada yang paling tepatlah yang akan diterapkan. Disamping itu hakim juga bebas untuk memilih beratnya pidana (starmaat) yang akan dijatuhkan sebab yang ditentukan oleh undang undang hanyalah maksimum dan minimumnya saja.

Sehubungan dengan kebebasan hakim ini dikatakan oleh sudarto bahwa: kebebasan hakim dalam menetapkan pidana tidak boleh sedemikian rupa, sehingga memungkinkan terjadinya ketidaksamaan yang menyolok, hal mana akan mendatangkan perasaan tidak sreg (onbehagelijk) bagi masyarakat, maka pedoman memberikan pidana dalam KUHP sangat diperlukan, sebab ini akan mengurangi ketidaksamaan tersebut meskipun tidak dapat menghapuskannya sama sekali.[11]

Muladi juga menyatakan bahwa disamping hal-hal yang bersumber pada hukum, maka ada hal-hal lain yang menyebabkan disparitas pidana, yaitu faktor-faktor yang bersumber dari diri hakim sendiri, baik yang bersifat internal maupun eksternal yang tidak bisa dipisahkan karena sudah terpbaku sebagi atribut seseorang yang disebut sebagai human equation (insan peradilan) atau personality of judge dalam arti luas yang menyangkut pengaruh pengaruh latar belakang social, pendidikan agama, pengalaman dan perilaku social. Hal-hal itu yang seringkali memegang peranan penting di dalam menentukan jenis dan beratnya hukuman daripada sifat perbuatannya sendiri dan kepribadian dari pelaku tindak pidana yang bersangkutan.

Seorang hakim yang memandang bahwa aliran klasik lebih baik berpendapat bahwa pengenaan denda akan lebih efektif. Seorang hakim yang memandang bahwa aliran klasik lebih baik daripada aliran positif akan memidana lebih berat sebab ia beranggapan bahwa pidana itu harus disesuaikan dengan kejahatan. Jadi yang menjadi sorotan disini adalah kejahatan itu sendiri. Dan sebaliknya hakim yang berpandangan modern akan memidana lebih ringan sebab orientasinya bukan lagi kejahatan tetapi kepada sipenjahat itu sendiri. Jadi pemidanaan harus sesuai dengan penjahat.

Dengan adanya aliran modern tersebut dimana kepercayaan digantikan oleh masa ilmu pengetahuan yang didasarkan atas penemuan penemuan ilmu social maupun ilmu ilmu alam, guna menunjang pembinaan narapidana berdasarkan filsafat individualisasi, maka faktor faktor penyebab disparitas pidana makin banyak. Hal ini disebabkan karena diakui adanya keadaan tertentu, baik fisik, mental, maupun lingkungan sebagai keadaan keadaan yang meringankan.[12]

Sebagai contoh dalam hal ini faktor-faktor jenis kelamin (Sex), residivisme dan umur (age). Wanita cenderung dipidana lebih ringan dan jarang sekali dipidana mati. Pidana terhadap residifis akan lebih berat dan bahkan menurut KUHP Indonesia (Pasal 486, 487, dan 488) secara formal dapat dijadikan dasar hukum untuk memperkuat pidana.

Disparitas pemidanaan ini menurut barda nawawi tidak dapat dilepaskan dari sistem perumusan dan pengancaman pidana dalam perundang-undangan yang ada. Dengan perkataan lain dapat merupakan sumber tidak langsung terjadinya sumber disparitas pidana. Dan apabila ini dibiarkan akan berakibat timbulnya sikap apatis, sinis dan ketidakpuasan warga masyarakat dengan melakukan main hakim sendiri atau mengadakan reaksi langsung terhadap si pelaku tindak pidana dan aparat penegak hukum, maka undang undanglah yang menjadi sumber tidak langsung terjadinya disparitas pidana.

Jika dilihat dari uraian diatas maka dapat disimpulkan terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu timbulnya disparitas pidana, faktor penyebab itu antara lain sebagai berikut:

  1. Masalah Falsafah Pemidanaan

Dalam KUHP perumusan falsafah pemidanaan yang dianut dalam WvS yang diundangkan tahun 1881 itu adalah pembalasan (werking der vergelding). Falsafah ini pada tahun 1886 ditinggalkan karena pengaruh aliran klasik baru yang mendapat ilmu yang baru muncul waktu itu yaitu psikologi yang menghendaki agar pidana yang dijatuhkan hakim itu haruslah sesuai pula dengan keperibadian si pelanggar, asas ini kemudian dikenal sebagai asas individualisasi.

Ketentuan mengenai hal tersebut tercantum dalam pasal baru yang disisipkan pada tahun 1927 yaitu pasal 14 a. dalam memori van toelichting dari wvs tersebut dijelaskan :[13]

“dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejadian harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-hak apa saja yang dilanggar- dengan adanya tindak pidana itu, kerugian apakah yang ditimbulkan? Bagaimanakah sepak terjang si pembuat dulu? Apakah kesalahan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama kearah jalan yang sesat ataukah suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari watak-watak jahat yang sebelumnya sudah tampak? Batas antara maksimal dan minimal harus ditetapkan seluas-luasnya, sehingga meskipun semua pertanyaan diatas itu dijawab dengan merugikan terdakwa, maksimal pidana yang biasa itu sudah memadai. “

Dengan adanya perubahan teori pemidanaan yang dianut, prof. sudarto mengatakan, [14]

“MvT ini berlaku juga untuk WvS kita, karena Wvs ini meneladani Wvs Belanda tahun 1886 tersebut dengan penyimpangan penyimpangan yang disesuaikan dengan keadaan khas hindia belanda sebagai Negara jajahan juga karena keadaan masyarakatnya berlainan. Namun karakteristiknya atau jiwa dan falsafah yang menjadi dasar adalah sama.”

Hukum pidana yang berlaku sekarang meskipun hasil dari aliran neo klasik dengan adanya pengaruh aliran modern disebut juga schuld strafrecht (hukum pidana kesalahan) yang mengandung arti bahwa untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat itu. Jadi meskipun dalam wvs kita tidak ada pasal yang memberikan pedoman pemberian pidana tetapi dengan adanya penjelasan tersebut diatas maka dapat juga dikatakan ada pedoman yang memberi ukuran kepada hakim dalam menentukan pidana.

Dari uraian diatas jelaslah bahwa ada beberapa bentuk atau macam falsafah atau tujuan pemidanaan yaitu berupa pembalasan (aliran klasik) dan berupa pembinaan dan perbaikan terpidana menurut aliran modern.

Menurut Andi Hamzah, dalam bukunya Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia (dari Retribusi ke Reformasi), halaman 15-16, tujuan pidana yang berkembang dari dulu sampai kini telah menjurus pada arah yang lebih rasional. Yang paling tua ialah pembalasan (revenge) atau untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri atau pihak yang dirugikan atau korban kejahatan. … Tujuan yang dipandang kuno ialah penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution), …; perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat; perbaikan (reformasi) kepada penjahat. Yang disebut terakhir yang paling modern dan popular dewasa ini. Bukan saja tujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum. Pandangan ini merupakan salah satu pemikiran dari ahli hukum Indonesia bahwa filosofi pemidanaan yang menekankan pada aspek balas dendam (retributive) telah ditinggalkan oleh sistem hukum di Indonesia. Filosofi pemidanaan di Indonesia lebih dititikberatkan pada usaha rehabilitasi dan reintegrasi social bagi pelaku tindak pidana. Hal ini pun telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the Guardian of Constitution yang memutuskan dalam putusan 013/PUU-1/2003, :

Bahwa asas non retroaktif lebih mengacu kepada filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive), padahal asas ini tidak lagi merupakan acuan utama dari sistem pemidanaan di Negara kita yang lebih merujuk pada asas preventif dan edukatif.[15]

Jadi untuk menghindari terjadinya disparitas pidana yang menyolok maka sebaiknya dalam KUHP kita yang akan datang, falsafah pemidanaan ini dirumuskan dengan jelas. Dengan kata lain falsafah yang kita anut harus dirumuskan secara tertulis dan diaplikasikan secara konsisten dengan apa yang telah ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

  1. Pedoman Pemidanaan

Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.

Prof. Sudarto mengatakan[16] bahwa pedoman pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat sudarto ini dibenarkan pula oleh Muladi, karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional.[17]

Hal ini sesuai pula dengan salah satu butir dari hasil simposium IKAHI 1975 yang menyatakan:

“untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap putusan hakim pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat penghukuman yang tepat dan serasi. Akan tetapi uniformitas mutlak bukanlah yang dimaksudkan, oleh karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, yang perlu hanyalah keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan rasa keadilan si terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/indikator dalam bentuk yang dinamakan checking points yang disusun setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional maupun nasional dengan mengikutsertakan ahli-ahli yang disebut behavior scientist.”(Istilah uniformitas pemidanaan ini dirasa dapat menimbulkan pengertian yang kurang sesuai dan oleh karenanya kata ketetapan dan keserasian pemidanaan lebih dipergunakan).

Dalam rangka usaha untuk mengurangi disparitas pidana, maka didalam konsep rancangan KUHP yang baru buku I tahun 1982, pedoman pemberian pidana itu diperinci sebagai berikut:[18]

Dalam pemidanaan hakim mempertimbangkan:

  1. Kesalahan pembuat
  2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana
  3. Cara melakukan tindak pidana
  4. Sikap batin pembuat
  5. Riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pembuat
  6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
  7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat
  8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
  1. Masalah Patokan Pidana

Hal lain yang dapat menimbulkan disparitas pidana adalah ketidakadaan patokan pemidanaan dalam perundang-undangan kita maupun dalam praktek di pengadilan. Tanpa pedoman yang memadai dalam undang-undang hukum pidana dikhawatirkan masalah disparitas pidana dikemudian hari akan menjadi lebih parah dibandingkan dengan saat ini.

Senator Edward M. Kennedy, seperti yang dikutip Eddy Djunaedy[19] mengatakan bahwa dengan tidak adanya pedoman dalam hukum pidana, keanekaragaman pidana akan terjadi walaupun hakim-hakim akan melaksanakan tugas pemidanaan dengan penuh tanggung jawab dan secermat mungkin.

Maksud dari patokan pemidanaan menurut Edward M. Kennedy adalah pidana rata-rata yang dijatuhkan hakim dalam wilayah pengadilan tertentu, misalnya wilayah pengadilan tinggi Jakarta. Dengan demikian pidana yang terlalu ekstrim, terlalu berat, atau terlalu ringan dapat dibatasi. Patokan tersebut tidak bersifat mutlak. Setiap majelis hakim bebas untuk menyimpang dari patokan tersebut asal saja dengan memberikan pertimbangan yang cukup dalam putusannya.

  1. Faktor yang bersumber dari diri Hakim sendiri

– Faktor eksternal Yang membuat hakim bebas menjatuhkan pidana yang bersumber pada UU

Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI memberikan landasan hukum bagi kekuasaan hakim dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini telah memberikan jaminan terhadap kebebasan lembaga peradilan sebagai lembaga yang merdeka, termasuk didalamnya, kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim bebas memilih jenis pidana, karena tersedia jenis pidana didalam pengancaman pidana dalam ketentuan perundang-undangan pidana. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 12 ayat (2) KUHP, yang menyebutkan bahwa pidana penjara waktu tertentu paling pendek 1 (satu) hari dan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut turut. Sedangkan dalam ayat (4)nya diatur bahwa pidana penjara selam waktu tertentu sekali sekali tidak boelh melebihi dua puluh tahun. Demikan pula dengan halnya pidana kurungan dalam pasal 18 ayat 1 KUHP, dinyatakan bahwa pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun, sedangkan dalam pasal 18 ayat 3 KUHP diatur bahwa pidana kurungan sekali kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan. Didalam pasal 30 KUHP, diatur bahwa pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh sen. Apabila pidana denda tidak dibayar, ia digani dengan pidana kurungan dan lamanya pidana kurungan pengganti denda paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.

– Faktor Internal yang bersumber dari diri hakim sendiri

Menyangkut faktor yang bersumber pada diri hakim terutama yang menyangkut profesionalitas dan integritas untuk menaruh perhatian terhadap perkara yang ditangani dengan mengingat tujuan pemidanaan yang hendak dicapai, maka terhadap perbuatan perbuatan pidana yang sama pun akan dijatuhkan pidana yang berbeda beda.[20]

Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa disparitas dalam pemidanaan disebabkan oleh hukum sendiri dan penggunaan kebebasan hakim, yang meskipun kebebasan hakim diakui oleh UU dan memang nyatanya diperlukan demi menjamin keadilan tetapi seringkali penggunannya melampaui batas sehingga menurunkan kewibawaan hukum di Indonesia.

Problematika mengenai disparitas pidana yang telah tumbuh dalam penegakan hukum ini tentu menimbulkan akibat yang tidak bisa dielakkan. Akibat dari disparitas pidana yang menyolok ini, menurut Edward M. Kennedy, sebagaimana juga dikutip Barda Nawawi ialah:[21]

  1. Dapat memelihara tumbuhnya atau berkembangnya perasaan sinis masyarakat terhadap sistem pidana yang ada
  2. Gagal mencegah terjadinya tindak pidana
  3. Mendorong terjadinya tindak pidana
  4. Merintangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap para pelanggar.

Dari pandangan Edward M. Kennedy tersebut dapatlah kita ketahui bahwa akibat dari adanya disparitas pidana tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana dan semangat dari falsafah pemidanaan. Disparitas pidana semakin menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, tidak hanya menyakiti rasa keadilan masyarakat, tetapi juga mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan pidana. Kondisi inilah yang kemudian menjadi bentuk dari kegagalan penegakan hukum pidana, dimana penegakan hukum malah diartikan sesuatu yang sepele oleh masyarakat.

Suatu fakta hukum dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, dalam hal ini, ada juga ahli hukum yang tidak sependapat bahwa disparitas hanya membawa dampak negatif sehingga harus diminimalisasi, mereka tidak memandang disparitas pidana sebagai suatu kesalahan atau cacat tubuh dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, Oemar seno Adji berpendapat bahwa disparitas di dalam pemidanaan dapat dibenarkan, dalam hal sebagai berikut:

  1. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan terhadap penghukuman delik-delik yang agak berat, namun disparitas pemidanaan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan pembenaran yang jelas
  2. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan apabila itu beralasan ataupun wajar. [22]

Pendapat lain pun mengungkapkan hal yang hampir serupa dengan pandangan Oemar Seno Adji yang menyatakan bahwa terhadap pengaruh negatif disparitas pidana tidaklah diatasi dengan cara menyeragamkan pidana dalam kasus yang sama, tetapi hendaknya putusan tersebut mendasarkan alasan atau dasarnya yang rasional.[23]

Dari pandangan Oemar Seno Adji, dapat kita lihat bahwa pandangannya tentang disparitas pemidanaan merupakan sebuah pembenaran, dengan ketentuan bahwa disparitas harus didasarkan pada alasan alasan yang jelas dan dapat dibenarkan. Pandangan ini sejalan dengan asas kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diajukan padanya. Pandangan ini pun merupaka bentuk refleksi dimana hakim dalam usahanya untuk tetap menjaga kewibawaan hukum, harus dapat mempertanggungjawabkan putusan yang dihasilkannya dengan memberikan alasan yang benar dan wajar tentang perkara yang diperiksanya. jika hal ini diterapkan, secara logika tentu saja disparitas pidana akan dapat diterima oleh masyarakat dengan tidak mengusik kepuasan masyarakat terhadap putusan hakim dan juga tidak mengoyak rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Problematika mengenai Disparitas pidana dalam penegakkan hukum di Indonesia memang tidak dapat dihapuskan begitu saja. Yang dapat ditempuh hanyalah upaya upaya dalam rangka meminimalisasi dispatitas pidana yang terjadi dalam masyarakat. Dengan berbagai pandangan sarjana dihubungkan dengan falsafah pemidanaan dan tujuan hukum itu sendiri maka solusinya dapatlah kita gunakan pandangan dari Muladi yang menyatakan bahwa upaya terpenting yang harus ditempuh dalam menghadapi problematika disparitas pidana adalah perlunya penghayatan hakim terhadap asas proporsionalitas antara kepentingan masyarakat, kepentingan Negara, kepentingan si pelaku tindak pidana dan kepentingan korban tindak pidana.[24]

Sehubungan dengan ini hazewinkel suringa dan remmelink menyimpulkan bahwa soal penjatuhan pidana tidak akan dan tetap tidak akan memberi pemecahan yang memuaskan, ia sukar memungkinkan adanya garis yang tetap untuk itu. Oleh Karena itu, untuk menghilangkan disparitas pidana sama sekali adalah tidak mungkin, yang perlu dusahakan adalah pemidanaan yang tepat dan serasi (consistency of sentence). Dalam hal ini pemidanaan tidak dimaksudkan untuk mencapai uniformitas mutlak, karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, aturan batas maksimal dan minimal pemidanaan dan bertentangan pula dengan rasa keadilan dan keyakinan hakim. Dalam keadaan ini, untuk dapat menempuh jalan tengah, ia mengutip Oimen dengan menyatakan bahwa yang menjadi hal pokok bukanlah untuk memberikan pidana yang sama, tetapi untuk berusaha dengan menggunakan kata-kata almarhum Robert Kennedy-“ Not making sentence equal, but in making sentencing philosiophies agree” (bukan memjadikan pidana sama, tetapi menjadikan falsafah pemidanaan serasi).[25]

[1] Muladi-Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984, hal. 54

[2] Harkristuti Harkrsnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003, (Jakarta:KHN,2003) hal.28.

[3] Muladi, “Dampak Disparitas Pidana dan Usaha mengatasinya”, Bandung: Alumni, hal. 52.

[4] Muladi-Barda Nawawi Arief, op.cit, hal.52.

[5] Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, 8 Maret 2003.

[6] Muladi, op.cit, hal. 2

[7] Ibid, hal. 2

[8] Ibid, hal.2

[9] Ibid, hal. 23

[10] Ibid, hal. 58

[11] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, bandung: Alumni, 1977, hal. 61

[12] Muladi-Arief, op.cit, hal 60

[13] Eddy Djunaedy, Beberapa pedoman pemidanaan dan pengamatan narapidana: tanpa penerbit, tanpa tahun, Hal. 7

[14] Ibid, hal 7

[15] Todung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009, 63

[16] Eddy Djunaedi, Op.cit, hal. 9

[17] Ibid, hal. 20

[18] Muladi-Arief, op.cit, hal. 68

[19] Ibid, hal. 68

[20] Gregorius Aryadi, “Putusan Hakim dalam Perkara Pidana” (Studi Kasus tentang Pencurian dan Korupsi di Daerah Istimewa Yogyakarta), Op. cit, hal.33

[21] Barda Nawawi Arief, op.cit, hal. 8

[22] Oemar Seno Adji, “Hukum-hukum pidana”, (Jakarta-Erlangga, 1984), hal 28-29

[23] Nurul Widiasih (Disparitas pidana dalam kasus tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga di wilayah hukum Bandar lampung). Tesis Jakarta, juli 2009

[24] Muladi, Op.cit, hal.8-9.

[25]Oemar Senoadji, Op.cit, hal 24


Eksistensi Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH)

Mafia merupakan kata yang tidak asing lagi dan cukup populer sejak awal tahun 2009. Secara harfiah mafia berarti perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (criminal)[2]. Perkumpulan tersebut mengindikasikan bahwa di dalamnya terdapat beberapa orang yang bersekutu dengan tujuan yang sama yaitu menambah pundi kekayaan. Oleh karena itu, mafia hanya mementingkan kepentingan bagi golongannya saja yang memiliki tujuan yang sama dan berusaha untuk mencapai tujuannya tanpa mempedulikan kepentingan pihak di luar golongannya.

Akan tetetapi menurut istilah Satjipto Raharjo, mafia hukum atau disebut mafia peradilan sebenarnya sudah mulai dikenal setidaknya sejak 30 tahun yang lalu. Istilah ini setara dengan terminologi judicial corruption yang dikenal di negara-negara barat untuk menjelaskan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di dalam sistem peradilan. Hingga saat ini belum ada definisi yang disepakati bersama tentang istilah mafia peradilan hukum atau mafia peradilan. Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) mendefinisikan mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu (aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan) untuk memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi, dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan.[3] Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) dalam hal ini pun telah mendefinisikan mafia hukum sebagai semua tindakan oleh perorangan atau kelompok yang terencana untuk kepentingan tertentu yang mempengaruhi penegak hukum dan pejabat publik yang menyimpang dari ketentuan hukum yang ada (selanjutnya akan digunakan istilah mafia peradilan).

Kejahatan oleh mafia bisa disebut juga sebagai Kejahatan Lunak atau Soft Crime. Mereka tidak bermain kejahatan seperti membunuh atau menyiksa, tetapi melakukan kejahatan yang merugikan Rakyat Indonesia. Perkumpulan mafia yang paling terkenal di Indonesia saat ini disebut mafia peradilan yang didalamnya mencakup mafia peradilan, mafia korupsi, mafia pajak dan bea cukai. Bahkan, ada yang menyamakan antara mafia peradilan dengan mafia peradilan. Hal ini menunjukkan bahwa para mafia tersebut memang dimungkinkan bersinergi dalam melakukan kejahatan yang dapat dilihat dalam kasus Gayus Tambunan. Dalam kasus tersebut, didalamnya terdapat mafia yang bersinergi antara lain mafia peradilan, mafia pajak dan mafia korupsi.

Buruknya proses penanganan hukum di institusi yudikatif menjadikan penggunaan nama mafia peradilan, kepada institusi peradilan maupun kepada sekelompok orang yang ada di lembaga hukum serta kepada setiap orang yang melakukan semua tindakan baik secara perorangan ataupun berkelompok yang terencana untuk kepentingan tertentu yang mempengaruhi penegak hukum dan pejabat publik di instansi peradilan yang menyimpang dari ketentuan hukum yang ada, menjadi biasa dan dapat diterima oleh masyarakat. Kendala yang dihadapi Indonesia saat ini adalah lembaga penegakan hukum dan pengadilan bukan merupakan jawaban untuk memastikan adanya penegakan hukum dan keadilan, namun menjadi salah satu permasalahan tersendiri.

Proses penegakan hukum diselimuti oleh praktik KKN, penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dan sebagainya yang dikenal dengan istilah mafia peradilan atau mafia peradilan. Meski upaya memerangi KKN di lembaga penegak hukum telah dimulai sejak lebih dari tiga dasawarsa yang lalu, namun proses tersebut masih jauh dari selesai, Praktik Mafia peradilan terjadi di sepanjang proses penegakan hukum, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan,penuntutan, pengadilan sampai dengan proses di lembaga pemasyarakatan. Untuk itu Selain adanya KPK diperlukan suatu lembaga lain yang bertugas khusus untuk memberantas mafia peradilan.

Praktik mafia peradilan terjadi di sepanjang proses penegakan hukum dari hulu sampai ke hilir yaitu mulai dari proses penyidikan hingga proses pemasyarakatan. Praktik mafia peradilan melibatkan anggota korps penegak hukum dan hakim. Penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2002 yang dilakukan di 6 wilayah di Indonesia secara detail telah mengklasifikasikan tahapan dan pihak yang terlibat serta modus mafia peradilan. Pada lembaga Kepolisian dan Kejaksaan sebagai contoh, praktik tersebut meliputi permainan status penahanan, penggelapan perkara, permintaan uang jasa atau operasional untuk menindaklanjuti laporan yang masuk, komersialisasi upaya paksa (penahanan dan penyitaan), rekayasa berita acara pemeriksaan dan jual-beli Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau Penuntutan (SP3). Di pengadilan praktik mafia peradilan meliputi jual beli vonis, penentuan majelis hakim yang mau bekerjasama dengan salah satu pihak, rekayasa berita acara persidangan, sampai penundaan eksekusi. Di LP, praktik yang umum terjadi adalah pemberian fasilitas di luar ketentuan bagi Narapidana atau Terdakwa yang mampu membayar, pemberian “ijin” keluar rumah tahanan dengan meminta imbalan, dan seterusnya.[4]

Pemberitaan di media membuat masyarakat menaruh perhatian pada keberadaan mafia peradilan. Seiring dengan pemberitaan tersebut dengan dibentuknya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 37 tahun 2009 tentang Pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum maka setidaknya kita dapat sedikit bernapas lega karena dengan dibentuknya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) maka sudah ada tim ad hoc untuk memberantas mafia peradilan.

Dalam mafia peradilan, pemainnya memang tidak hanya hakim, tetapi juga dimainkan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pencari keadilan, pengacara, jaksa, polisi, ataupun panitera. Seperti lazimnya mafia meskipun dalam hal ini tidak sama persis dengan organisasi mafia tetapi hampir setiap pihak tersebut mampu menjaga privacy mereka sehingga dapat ditutupi dengan begitu rapi.

Sistem peradilan yang didalamnya terdapat mafia peradilan akan menggangu konsep rule of law dimana penegakan hukum tidak akan berjalan efektif apabila masih ada mafia peradilan yang berusaha untuk menyimpangi ketentuan hukum yang ada demi kepentingan golongannya. Untuk itu pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) oleh Pemerintah untuk memberantas mafia peradilan adalah suatu alternatif solusi yang cukup tepat diaplikasikan demi terselenggaranya penegakkan hukum di Indonesia. Akan tetetapi, seperti yang dikemukakan oleh Komisi III DPR RI, paham yang berkembang saat ini mengatakan bahwa Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) tidak bekerja seperti yang diharapkan, sehingga pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) sebagai tim ad hoc pemberantasan mafia hukum tidak relevan dengan kondisi yang ada karena melihat kenyataan mengenai angka pengaduan dari masyarakat yang hingga kini sebagian besar belum ditindaklanjuti.

Terkait upaya Petisi 28 mengajukan uji materi Keppres No. 37 tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum ke Mahkamah Agung dan juga tanggapan dari Komisi III DPR tersebut sebenarnya tidak dapat dijadikan alasan pembubaran Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) karena sebagai lembaga yang baru dibentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) tentu diberikan kewenangan khusus untuk memberantas mafia peradilan yang tidak dimiliki oleh institusi manapun sehingga keberadaan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) masih diperlukan. Lagi pula, Satgas Pemberantasan Mafia peradilan pun hingga kini dapatlah dinilai cukup bekerja sesuai kewenangannya, salah satu implementasi kewenangannya adalah dengan membuka kasus vincent ‘Asian Agri’. Hingga 30 Maret 2010 Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) telah dan sedang menindaklanjuti 381 pengaduan yang masuk serta beberapa kasus lain berdasarkan temuan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) dengan berkoordinasi penuh dengan lembaga-lembaga terkait.[5] hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) telah cukup bekerja sesuai amanah yang diberikan padanya.

Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) yang dibentuk dengan Keppres nomor 37 tahun 2009 ini bertugas dengan cara melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi dan pemantauan agar upaya Pemberantasan Mafia Hukum dapat berjalan efektif dengan kewenangan untuk :

  1. bekerjasama dengan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Ombudsman, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kepolisian Nasional, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Organisasi Profesi Advokat, Organisasi Profesi Notaris, Organisasi Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan lembaga negara lainnya dalam upaya Pemberantasan Mafia Hukum;
  2. melakukan penelaahan dan penelitian serta hal-hal lain yang dianggap perlu guna memperoleh segala informasi yang diperlukan dari semua instansi Pemerintah Pusat maupun instansi Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, serta pihak-pihak lain yang dianggap perlu.[6]

Dari kewenangan yang diberikan dalam Keppres 37 tahun 2009 tersebut memang masih terdapat hal yang sangat umum sehingga diperlukan peraturan pelaksana guna memperjelas hal hal yang menjadi ruang lingkup dari kewenangan dalam tubuh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) sehingga tidak ada unsur ketidakjelasan bagi Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) dalam hal pelaksanaan kewenangannya dalam rangka Pemberantasan Mafia Hukum.

Efektifitas sebuah lembaga amat bergantung pada kewenangan yang diberikan. Keterbatasan yang diberikan ini yang menjadi pondasi bagi suatu lembaga untuk bertindak. Oleh sebab itu, seharusnya diatur peraturan pelaksana dari keputusan presiden nomor 37 tahun 2009. Regulasi mengenai Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) diharapkan tidak mengutamakan prosedur saja, tetapi juga lebih kepada substantifnya.

Pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) serupa dengan pembentukan KPK, meskipun keduanya dibentuk dengan jenis peraturan perundang-undangan yang berbeda. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) dibentuk berdasarkan Keppres nomor 37 tahun 2009 oleh Pemerintah, sedangkan KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 30 tahun 2002. Dalam catatan kasus di pengadilan, kasus Endin Wahyudin merupakan satu register perkara dari ribuan perkara yang masuk ke pengadilan yang merupakan sebuah sejarah kelam Institusi Peradilan. Kasus Tersebut merupakan pemicu dibentuknya KPK sebagai tim pemberantas korupsi akibat dari dihapuskannya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) oleh MA dengan alasan bahwa PP 19 tahun 2000 tidak sah dan dinyatakan tidak berlaku.

Hingga saat ini KPK tetap eksis dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dapat dilihat dari banyak pula perkara yang diselesaikan oleh KPK, berkaca dari itu sudah selayaknya kita menaruh kepercayaan pada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) untuk turut pula menyelesaikan perkara guna memberantas mafia peradilan yang ada untuk turut serta mendorong tumbuhnya penegakkan hukum yang progressif.

Praktek Penegakkan hukum sekarang ini berdasarkan pada tipe liberal, dimana mengutamakan dan menjunjung tinggi kemerdekaan individu. Terlebih dengan munculnya Negara modern dengan kekuasaannya yang hegemonial, maka hukum bertugas untuk melindungi manusia berhadapan dengan kekuasaan Negara tersebut. Tugas penting dari hukum tipe liberal adalah melindungi kebebasan dan kemerdekaan manusia. Dengan demikian maka prosedur menjadi tidak kalah penting dari pada pengaturan secara substansial. Bahkan penekanan prosedur dapat mengalahkan subsatansi sehingga dapat menyingkirkan keadilan itu sendiri, misalnya terjadi pada kasus O.J. Simpson yang dinyatakan tidak bersalah berdasarkan penekanan terhadap aspek cacat-cacat dalam prosedur penanganan perkaranya. Oleh karena itu diperlukan suatu penegakkan hukum progresif dimana penegakan hukumnya diusahakan tidak menempuh cara liberal.[7]

Inti dari penegakan hukum progresif adalah tidak mengesampingkan kepentingan bangsa dan Negara tidak dikesampingkan begitu saja demi untuk mempertahankan aturan, doktrin, dan asas yang melindungi kebebasan dan kemerdekaan individu.[8] Pengagungan terhadap hal hal tersebut dapat menimbulkan demoralisasi hukum, dimana moralitas dikalahkan oleh prosedur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Berkaca dari realitas yang ada seperti Kasus Endin Wahyudin, Gayus Tambunan, maka agenda besar Pemberantasan Mafia Hukum menunjukkan tidak hanya diperlukan UU yang mengatur Pemberantasan Mafia Hukum yang bersifat non-liberal, tetapi juga dibutuhkan komitmen dari para penegak hukum secara keseluruhan demi tegaknya hukum progresif. Dalam hal ini polisi, jaksa, dan juga penyelenggara peradilan sendiri yakni hakim berkewajiban memberantas mafia peradilan di jenjang yang paling bawah yang terdekat dengan masyarakat karena pengadilan merupakan rumah bagi penegakkan peradilan sekaligus sebagai benteng terakhir pencarian dan penemuan keadilan bagi masyarakat.

Berkaitan pula dengan penegakan hukum progresif yang berlawanan dengan kultur liberal maka penegakan hukum progresif memiliki bersemangat untuk menyatukan jaksa, hakim, dan advokat dalam kesatuan tekad dan determinasi dalam usaha mengalahkan dan memberantas mafia peradilan. Hal ini pun didukung dengan adanya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) yang tentunya lebih bersifat anti-liberal demi keadilan.

[1] Oleh Devi Darmawan

[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia

[3] Siti Aminah, Katakan Tidak: Panduan Melawan Mafia Peradilan (Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme, Jawa Tengah, 2006),  hal. 5.

[4] Wasingatu Zakiyah, et.al. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, (Jakarta, Indonesian

Corruption Watch, 2002).

[5] http://www.Satgas-pmh.go.id/Satgaspmhdev/?q=node/41, diunduh pada tanggal 2 agustus 2010

[6] http://www.Satgas-pmh.go.id/Satgaspmhdev/?q=node/18, diunduh pada tanggal 2 agustus 2010

[7] Mafia Peradilan:catatan kasus Endin Wahyudin (Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2004), hal. 47.

[8] Ibid.